BERTEMU PADA SATU TITIK
Langit
membiru dengan cerah. Biru turun dari taxi
online yang ditumpanginya setelah membayar tarif dengan bantuan supirnya.
Setelah turun dan sang supir kembali melajukan mobilnya, Biru menghela napas
lega. Ia akhirnya berada di depan gerbang raksasa bermotif sulur-suluran yang
tampak kokoh dan megah. Kini, ia akhirnya ingat siapa itu Samuel Wardhana,
seorang direktur kantor konsultan pajak yang pernah bermitra dengannya, ketika
ia akan mengurus perizinan dan administrasi pajak usaha yang dirintisnya,
mungkin enam atau tujuh tahun yang lalu.
Tampaknya satpam penjaga rumah itu sudah diberitahu
akan kedatangannya oleh Samuel. Maka begitu melihat seorang pria berkursi roda ‘nangkring’
di hadapan gerbang, pria tambun berkumis tebal itu langsung tergesa membukakan
gerbang sebagai akses untuk masuk ke dalam ‘istana’ Samuel Wardhana.
Saptono—nama pria itu, yang tertera pada bordiran di
dada sebelah kanannya—tampak begitu ramah dan hangat. Senyum ceria selalu
tercipta dibalik kumis hitamnya. Biru mengamatinya dalam diam, seikit-sedikit
mencuri pandang. Kesan pertama saat ia masuk ke dalam rumah itu adalah luas dan
mewah. Lampu gantung yang terjulur dari bilik atap rumah itu ditafsir Biru
seharga dengan sebuah mobil Avanza. Begitu juga dengan interior yang didominasi
wana broken white. Biru mengamati
lingkungan barunya dengan perasaan terkagum. Semewah-mewah rumahnya, rumah
milik Samuel berkali lipat lebih mewah dan luas. Di sisi depan, terdapat
jendela raksasa yang separuhnya berisi lukisan di atas kaca, sedangkan
separuhnya lagi tertutupi tirai sutra berwarna hitam dengan sedikit ornamen
satin yang tampak seperti perak memantulkan cahaya. Di sisi lain, sofa
berukuran jumbo berwarna gold terasa
begitu empuk dan hangat, diletakkan pas menghadap TV LED berukuran 60 inch.
Dalam hati Biru merutuki dirinya, yang dahulu begitu angkuh dengan segala
kepunyaanya, kini Tuhan telah menamparnya dengan menunjukan kebenaran dari
peribahasa ‘di atas langit masih ada langit.’
Tunggu, Tuhan?! Siapakah Tuhan itu? Bukankah Biru
sendiri sudah lupa siapa Tuhannya dan kapan terakhir kali ia keep in touch denganNya. Biru lupa
apakah dahulu ia pernah membutuhkan Tuhan, pernah menyatakan kehadiran Tuhan.
Kini, pikiran muram merambati kepalanya. Merongrong dan mencambuk nuraninya
yang dahulu dirasanya telah mati. Sebenarnya, seberapa jahat dan jauh dirinya dari Tuhan?
Sekonyong-konyong kemuraman melanda pikirannya,
tepukan sedikit keras di bahunya menyentaknya kuat. Perlahan, kesadarannya
pulih. Dan terfokus kembali kepada tujuan utamnya menyambangi kediaman Samuel
Wardhana.
Biru memutar kursi rodanya, lalu mendapati pria
bertubuh jangkung yang menatapnya ramah. Biru mengenali pria itu sebagai
Samuel, melihat binar kejenakan dan kehangatan yang menyapanya. Teringat oleh
Biru sikap buruknya saat menanggapi pria itu bicara, sungguh berbanding balik
dengan apa yang pria itu perbuat kepadanya.
“Kau datang tepat waktu. Kalau begitu tunggulah di
sini, saya akan panggilkan istri saya,” tanpa menunggu balasan dari sang lawan
bicara, Samuel berlalu hingga hilang ditelan koridor yang terasa amat jauh
saking luasnya rumah itu. Dalam diam, Biru kembali mengagumi interior dan tata
ruang di sekitarnya. Sebuah sofa melengkung berbahan beludru berwarna hitam
terletak di beranda rumah, yang berhadapan dengan hijaunya dedaunan dan
warna-warni bunga di taman yang tampak luas. Sekali lagi Tuhan ‘menamparnya’.
Beberapa saat kemudian, Biru akhirnya menemukan
Samuel dan istrinya. Istrinya bertubuh mungil, sangat kontras dengan tubuh Samuel
yang jangkung. Mereka tampak serasi bersama. Wanita itu—yang ditafsir Biru
berusia akhir empat puluhan—memiliki raut wajah yang lembut dan ayu. Ujung
matanya yang sipit itu sedikit melengkung, sehingga tampak sedang tersenyum
meskipun saat wajahnya datar. Hidungnya bangir dan bibirnya mungil padat.
Wanita itu berambut lurus sebahu berwarna hitam, namun Biru melihat sedikit
uban di sela-sela hitam rambutnya. Secara keseluruhan, wanita itu cantik. Biru
jadi membayangkan akan secantik apa si Jingga-jingga itu. Sebab dilihat dari
perawakan kedua orangtuanya, gadis itu berasal dari bibit mumpuni.
Wanita itu menyalami Biru dan memperkenalkan diri
bernama Sarah. Sungguh nama yang pas dengan penampilannya. Menambah nilai
keserasian antara Sarah dan Samuel, sama-sama diawali dengan suku kata ‘sa’.
“Begini lho, Biru... Anak perempuan kami itu manja
dan keras, juga sedikit egois. Jadi, kami harap Anda yang akan menyesuaikan
jadwal dengan kemauan Jingga. Maklum, Jingga anak kami satu-satunya, lalu kami
juga susah dapetnya, makanya dimanja berlebihan. Maaf, tapi Anda kan sudah
emmm...., pengangguran, kami pikir hal itu tak menjadi masalah buat Anda.”
Setelah berbasa-basi tidak penting, akhirnya pembicaraan mereka menyentuh topik
utama.
Biru mengenyit. Menciptakan kerutan dalam di
dahinya. Alis tebalnya terlihat nyaris menyatu, menambah kesan ‘laki’ dalam
dirinya. Lama ia menimbang-nimbang, sebab dahulu ia biasa kerja sistematis,
“Jika begitu, saya ingin dibayar tiap pertemuan,”tandasnya.
Kedua orangtua di hadapannya tampak lega.
Mereka—yang sepertinya memiliki kebun uang itu—tentulah tidak akan keberatan
soal nominal. Biru menyebutkan sejumlah nominal yang cukup besar—sedikit
berlebihan malah untuk ukuran privat piano—dan langsung disetujui tanpa pikir
panjang. Beberapa saat di sana, mereka hanya membahas segala kabar hangat
terbaru yang sebenarnya tidak begitu menarik perhatian Biru. Namun, sekali lagi
demi kesopanan, ia rela berpura-pura menyimak obrolan suami-istri di
hadapannya.
Nyaris setengah jam ia bertahan dari bosan.
Setelahnya, suara-suara tawa terdengar dari arah pintu masuk. Suara pintu kayu
jati raksasa itu berderit, sedikit membuat ketiga orang itu tersentak. Lalu
Samuel memberikan kode dengan tatapan‘harap maklum’ pada Biru, yang hanya
dibalas senyum tipis. Tak berapa lama, suara melengking nan manja itu membelai lembut
telinga Biru, “Mamiii!!! Daddy!!!! Kangen bangetttt. Kalian sibuk terus, Jingga
kesepian di rumah! Jadinya aku nginep di rumah Lalita!” Biru sedikit terjengit
mendengar nada yang begitu mendayu-dayu dan terkesan lebay. Gadis itu—yang
menurut Biru adalah Jingga—bertubuh tinggi dan langsing. Wajahnya cantik,
perpaduan antara Samuel dan Sarah. Lalu tanpa basa-basi gadis itu menyeruak ke
dalam pelukan ayahnya. Teman perempuan gadis itu tampak kalem berdiri di
sebelah gadis itu setelah menyalami dirinya dan Sarah. “Daddy, who is he?
Kenapa dia cacat?!”
Tersentak, Biru melotot pada gadis manja itu. Gadis
itu mendelik padanya. Lalu tepukan keras mendarat di bahu terbuka gadis itu,
tepukan dari Samuel, “Don’t you tell something hurt! Please, sorry to him! Dia
itu udah Daddy sewa buat ngajarin kamu piano. He’s one of the Indonesia’s best
pianist. Biru Samudra, don’t you know that?”
Gadis itu melotot, mata sipitnya berusaha sebisa
mungkin mencapai lebar maksimal. Di belakang gadis itu, Sarah tersenyum
simetris lalu mengungkapkan maaf dengan gerakan bibir dan tanpa suara.
“WHAT?! Daddy,
i udah bilang gak mau les piano! Do you think i’m a playgroup student? Ahhh
pokoknya i don’t want to do that! Apalagi gurunya cacat kayak gini,”
Terjengit Biru mendengarnya. Nada yang tadinya
mendayu-dayu itu sirna, digantikan dengan angkara murka dan pelototan sadis
gadis itu untuk ayahnya dan Biru. Telunjuk gadis itu teracung, mengarah tepat
di depan batang hidung nan mancung Biru, seakan mengganggap Biru hanyalah upik
abu yang tak layak mendapatkan penghargaan ssedikit pun.
Emosi yang begitu membuncah ditahan Biru sekeras
mungkin. Ia tak ingin memberikan kesan buruk pada calon muridnya ini. Demi apa pun gue harus sabar! Gadis ini
sumber duit gue nanti, ia membatin. Samuel menoleh ke arahnya, namun sebisa
mungkin ia menampilkan senyum terbaiknya. Kini, Jingga sudah melayap entah ke
mana, mungkin memang tabiatnya kurang ajar begitu.
Dehaman Samuel menyentaknya, mengembalikan
kesadarannya sepenuhnya ke dunia nyata.
“Maafkan, Jingga. Dia anak kami satu-satunya, bahkan
setelah delapan tahun kami berumah tangga. Jadi, kami memang begitu berlebihan
memanjakannya. Salah kami, yang salah mendidiknya sejak dini,” suara lembut
Sarah akhirnya memulai keheningan yang sempat tercipta sesaat setelah Jingga
menghilang. Biru menatap wanita itu
dengan tatapan nanar, antara ingin
protes dan jaga image.
“Ya, dia memang begitu. Tapi ia mudah luluh,
sebentar lagi saya akan bujuk supaya dia menerima,” Samuel menimpali ucapan
Sarah. Dalam hati Biru merutuki nasib sial apa yang sedang di hadapinya. Ia
benar-benar bingung. Di tengah krisis ekonomi yang sedang berusaha ia atasi,
Tuhan memberi jawaban dengan tawaran menggiurkan sebagai guru piano bagi anak
konglomerat di kotanya. Bayarannya banyak, meski tak sebanyak omset dari
usahanya dahulu, namun baginya sudah jauh lebih dari cukup. Namun, ia ragu,
melihat kesan pertama yang ditampilkan calon murid pianonya itu amat jauh dari
kata sopan dan baik. Benar-benar tidak mencerminkan gadis berpendidikan dan
bermartabat. Tipe wanita yang harus dijauhi sepanjang abad. Tipe wanita? Emangnya ada yang mau sama lo?
Iblis dari sisi hatinya yang lain membatin, memukul telak dirinya, mengikis
rasa percaya dirinya yang nyaris nihil. Lumpuh permanen yang dialaminya sejak
lahir memang menjadi momok sekaligus hal paling disesali dalam hidupnya.
Benar-benar membuatnya minder.
Biru
memandang langit hitam kepekatan dari balkon kamarnya. Seorang diri. Terhanyut
dalam sepi. Sejak kematian ayahnya beberapa tahun silam, kehampaan sudah
menjadi sahabatnya, nyaris ‘kawin’ dengan dirinya. Tak ada yang bisa dirasakan
Biru selain kesepian dan kehampaan. Dunia sepertinya berjalan hanya untu
sebagaimana seharusnya. Bumi bukan lagi tempat yang indah dan bermakna, hanya
sebuah latar dari suatu fase kehidupan, yang memiliki kontraknya tersendiri.
Suatu saat akan mati, punah atau terlupakan. Persis seperti jalan cerita pada
dinetron atau novel picisan. Manusia hanyalah wayang dari pewayangan yang
diciptakan dan ditentukan hidup-matinya oleh Sang Dalang Yang Mahatau.
Kehampaan yang menyelimutinya itu tak lagi
terbilang, atau pun terhitung. Satu demi satu impian dan cita-citanya hilang,
terenggut bersama satu demi satu kepergian miliknya yang takkan kembali lagi. Gugur,
tertelan kenyataan pahit yang bertubi-tubi dialaminya.
Biru dahulu hanyalah pria cacat biasa, namun penuh
gelora dan gairah hidup. Biru yang dahulu hanyalah anak lelaki kebanggaan
ayahnya, dengan segudang cita-cita juga untaian prestasi meski ia tak sama.
Kehidupannya dahulu normal, meskipun ia cacat permanen, prestasinya dibidang
akademik maupun seni bisa dibilang menyelamatkannya dalam banyak hal. Ia tak
kekurangan teman, semua teman silih berganti menawarkan diiri menemaninya
sekedar ke kantin atau mengantarnya pulang demi mendapat satu contekan tugas
yang bisa diperjual-belikan pada teman-teman yang lain. Biru tak pernah
memperasalahkan itu. Baginya, tidak di-bully
saja sudah bagus. Wajahnya pun bisa dibilang
tampan, dengan wajah perpaduan ras Mongoloid keturunan ayahnya juga ras
Kauskasia yang nyaris delapan puluh persen membentuk wajahnya, turunan dari
wanita yang amit-amit dipanggilnya ibu. Wanita yang sudah sejak lama
menanggalkan gelarnya itu dengan meninggalkan dirinya kecil tingga berdua
dengan ayahnya, hanya karena alasan uang. Tapi ia bersyukur, setidaknya ia
tidak mengalami sesuatu hal yang buruk sejak SD hingga lulus kuliah. Meskipun
tak pernah atau sempat mengalami fase cinta monyet atau tikung-menikung dalam
lika-liku masa-masa sekolahnya dahulu, ia bersyukur. Ia masih bisa diterima
dengan baik di lingkungannya, seperti yang selalu ayahnya lakukan dan
dengungkan kepadanya.
Alih-alih dahulu ia anak yang religius dan penuh
semangat menjalani hidup, kematian ayahnya secara tragis dalam kecelakaan
pesawat penerbangan menuju Bali untuk liburan dan jasadnya hilang entah di
mana, juga terbongkarnya satu kenyaataan—banyak kenyataan, lebih tepatnya—ia
tawar hati. Ia tinggalkan semua kebiasaannya, atau ritual dengan Sang
MahaPunya, ia tanggalkan semua rasa percaya dan hormatnya pada Tuhan. Ia
menarik diri dari segala kehidupan sosialnya, ia bukan lagi dirinya yang
dahulu. Ia tak lagi tahu apa tujuannya hidup, tak lagi mengerti apa guna
nyawanya. Hanya sesuatu yang hambar, tawar, hampa dan tanpa rasa yang
dirasakannya.
Teman-temannya, yang jumlahnya tak seberapa itu,
bahkan menjulukinya dua hal; atheis dan aseksual. Untuk julukan pertama, ia
berusaha menyangkal hal tersebut. Sebab ia merasa bahwa julukan ‘atheis’ itu
terlalu kejam. Ia menampik hal tersebut, sebab baginya, ia hanya sedang dalam
fase tawar hati, penyanggahan dari kepahitan dan pelarian dari kesakitan. Suatu
saat yang entah kapan, ia yakin ia akan kembali lagi menjadi dirinya yang
dahulu. Untuk julukan kedua, ia sendiri tak bisa membenarkan ataupun
menyalahkan. Ia pernah jatuh cinta, dahulu sekali, namun ia sadar diri. Sejak
saat itu, hatinya tak pernah merasa hangat, hatinya membatu, tertutup dari
segala bentuk rasa apa pun. Maka dari itu, ia disebut pengidap aseksual, tidak
tertarik dalam bentuk hubungan perasaan maupun fisik pada jenis kelamin apa
pun. Dan nyatanya memang nyaris begitu.
Lamunan Biru terusik kala bel rumahnya berbunyi. Bel
tersebut memang terhubung langsung dengan kamarnya, sehingga memudahkannya
untuk mengetahui ada orang yang datang. Dengan perlahan, Biru mengemudikan
kursi rodanya menuju pintu utama rumah, yang jaraknya kira-kira enam meter dari
muka pintu kamarnya.
Biru mendesah pelan, dalam hati bertanya-tanya
siapakah gerangan yang bertamu pada malam hari. Ia juga sedikit tergesa, sebab
sang tamu nampaknya sudah tak sabar dengan memencet bel rumah berulang kali,
bahkan sudah mulai mengetok-ngetok pintu dengan sembrono dan ritme tidak
teratur.
Ketika ia berhasil mencapai gagang pintu yang
berwarna keperakan dengan bentuk elipsis itu, Biru mengintip sedikit celah dari
jendela besar yang tertutup gorden raksasa. Namun, tak ada yang bisa dilihatnya
selain jaket berwarna hitam yang membalut sang tamu tersebut. Sayangnya, Biru
juga tak bisa mendapat bocoran apa pun tentang siapa si tamu ini, sebab sedari
tadi tamu tersebut hanya mengetok pintu dan menekan bel berulang kali, tapi tak
mengucapkan satu patah kata pun.
Dengan segera, Biru memutar kunci rumah dan meraih
gagang pintunya. Matanya beralih menatap si tamu itu, lalu ia tertegun.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar